Beranda | Artikel
Perkara-Perkara Fithrah
Kamis, 22 Juli 2004

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

C. Perkara-Perkara Fithrah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: اْلاِسْتِحْدَادُ، وَالْخِتَانُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ.

“Lima (perilaku) fithrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.”[1]

Dari Zakaria bin Abi Za-idah, dari Mush’ab bin Syaibah, dari Thalq bin Habib, dari Ibnu az-Zubair, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ -يَعْنِي اْلاِسْتِنْجَاءُ- قَالَ زَكَرِيَّا، قَالَ مُصْعَبُ وَنَسِيْتُ الْعَاشِرَ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةُ.

“Sepuluh (perilaku) fithrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, menghirup air ke hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dengan air -cebok- Zakaria mengatakan bahwa Mush’ab berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur.” [2]

1. Khitan
Khitan wajib bagi pria dan wanita. Karena ia merupakan ciri
ke-Islaman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang baru memeluk Islam:

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ.

“Campakkanlah rambut kekufuran [3] darimu dan berkhitanlah.” [4]

Perbuatan ini termasuk ajaran Nabi Ibrahim Alaihissallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمنِ بَعْدَ مَا أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً.

“Ibrahim, Khalilurrahman (kekasih Allah) berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.” [5]

Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus).’ Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” [An-Nahl: 123]
.
Disukai bila khitan dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran.

Berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ أَياَّمٍ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqikahi serta mengkhitan Hasan dan Husain pada hari ketujuh.” [6]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:

سَبْعَةٌ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ: يُسَمَّى وَيُخْتَنُ.

“Tujuh dari perkara-perkara sunnah untuk bayi pada hari ketujuh adalah memberi nama dan mengkhitan.” [7]

Kedua hadits dia atas meskipun terdapat kelemahan pada keduanya, namun masing-masing saling menguatkan. Karena sumber keduanya berbeda dan tidak ada (perawi) yang tertuduh pada keduanya.[8]

2. Memanjangkan jenggot
Memanjangkan jenggot hukumnya wajib dan mencukurnya hukumnya haram. Karena (termasuk) merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan syaitan, di mana Allah mengabarkan tentang perkataan syaitan:

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” [An-Nisaa’: 119]

Mencukurnya (termasuk) menyerupai wanita.

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.”[9]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memanjangkan jenggot. Sedangkan perintah menunjukkan wajib, sebagaimana diketahui.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.

“Pangkaslah kumis dan panjangkan jenggot. Selisihilah orang-orang majusi.”[10]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ.

“Selisihilah orang-orang musyrik. Panjangkan jenggot dan potonglah kumis.”[11]

3. Siwak
Bersiwak disukai pada semua keadaan. Lebih disukai pada saat-saat berikut:
a. Ketika wudhu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ.

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap wudhu.” [12]

b. Ketika shalat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ.

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap akan shalat.”[13]

c. Ketika membaca al-Qur-an
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami bersiwak dan bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ مَلَكٌ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ، فَلاَ يَقْرَأُ آيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ.

“Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak melakukan shalat, datanglah Malaikat padanya. Lalu ia berdiri di belakangnya untuk mendengarkan al-Qur-an. Ia mendekat dan tetap mendengarkan serta mendekat hingga ia letakkan mulutnya ke mulut hamba tadi. Tidaklah ia membaca ayat melainkan ayat tersebut sampai ke perut Malaikat itu.” [14]

d. Ketika memasuki rumah
Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya. Dia berkata, aku bertanya kepada ‘Aisyah:

بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتِهِ؟ قَالَتْ: بِالسِّوَاكِ.

“Dengan apa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali masuk rumah beliau?” Dia berkata, “Dengan bersiwak.” [15]

e. Ketika shalat malam
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ لِيَتَهَجَّدَ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak shalat, beliau membersihkan mulutnya dengan siwak.” [16]

Dimakruhkan Mencabut Uban
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَنْتَفُوا الشَّيْبَ، مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيْبُ شَيْبَةً فِي اْلإِسْلاَمِ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Janganlah kalian mencabut uban. Karena tidaklah seorang muslim beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan ia akan menjadi cahaya baginya di hari Kiamat.” [17]

Dibolehkan menyemir uban dengan pacar, inai, atau sejenisnya dan diharamkan menggunakan warna hitam

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتْمُ.

“Bahan terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah pacar dan inai.” [18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبَغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ.

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.” [19]

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah didatangkan. Rambut dan jenggotnya telah memutih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:

غَيِّرُوْا هذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوْا السَّوَادَ.

“Rubahlah (rambut) ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” [20]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَكُوْنُ قَوْمٌ يَخْضَبُوْنَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَّامِ لاَ يُرِيْحُوْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

“Pada akhir masa kelak akan ada kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak mencium aroma Surga.”[21]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/334 no. 5889)], Shahiih Muslim (I/221 no. 257), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/ 252 no. 4180), Sunan at-Tirmidzi (IV/184 no. 2905), Sunan an-Nasa-i (I/14), dan Sunan Ibni Majah (I/107 no. 292).
[2]. Hasan: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 182)], Shahiih Muslim (I/223 no. 261), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/79 no. 52), Sunan at-Tirmidzi (IV/184/ no. 2906), Sunan an-Nasa-i (VIII/126), dan Sunan Ibni Majah (I/108 no. 293).
[3]. Yang dimaksud rambut kekufuran adalah model rambut yang menjadi ciri khas orang-orang kafir. Lihat ‘Aunul Ma’buud dan Tuhfatul Ahwadzi.-Pent.
[4]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 1251)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/20 no. 352), dan al-Baihaqi (I/172).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/88 no. 6298)], dan Shahiih Muslim (IV/1839 no. 370).
[6]. Ath-Thabrani dalam ash-Shaghiir (II/122 no. 891). Lihat [Tamaamul Minnah hal. 68].
[7]. Ath-Thabrani dalam al-Ausath (I/334 no. 562). Lihat [Tamaamul Minnah hal. 68].
[8]. Tamaamul Minnah hal. 68.
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 5100)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/332 no. 5885), dan Sunan at-Tirmidzi (VI/194 no. 2935).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim. (no. 181)], dan Shahiih Muslim (I/222 no. 260).
[11]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/349 no. 5892)], dan Shahiih Muslim (I/222 no. 259 (54)).
[12]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 5316)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (I/294 no. 171).
[13]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/220 no. 252)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/374 no. 887), Sunan at-Tirmidzi (I/18 no. 22), Sunan an-Nasa-i (I/12), hanya saja dalam lafazh al-Bukhari tertulis “مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ”.
[14]. Shahiih lighairihi: [Ash-Shahiihah (no. 1213)], al-Baihaqi (I/38).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 235)], Shahiih Muslim (I/220 no. 253), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/86 no. 58), Sunan Ibni Majah (I/106/ no. 290), dan Sunan an-Nasa-i (I/13).
[16]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/220 no. 255)], lafazh ini milik al-Bukhari. Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/356 no. 245), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/83 no. 54), dan Sunan an-Nasa-i (I/8). Lafazh mereka bertiga: “إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ (jika bangun malam hari).”
[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7463)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/256 no. 4184), dan Sunan an-Nasa-i (VIII/136).
[18]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 1546)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/259 no. 4187), Sunan at-Tirmidzi (III/145 no. 1806), Sunan Ibni Majah (II/1196 no. 3622), dengan lafazh miliknya. Sunan an-Nasa-i (VIII/ 139).
[19]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/354 no. 5899)], Shahiih Muslim (III/1663 no. 2103), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/257/ no. 4185), dan Sunan an-Nasa-i (VIII/137).
[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 4170), Shahiih Muslim (III/1663 no. 2102 (69)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/258 no. 4186), Sunan an-Nasa-i (VIII/138), Sunan Ibni Majah (II/1197 no. 3624) dengan (lafazh) semisalnya.
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 8153)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/266 no. 4194), Sunan an-Nasa-i (VIII/138).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/930-perkara-perkara-fithrah.html